Pada artikel kali ini saya ingin
membahas mengenai perkebunan di Indonesia, khususnya di wilayah Lumajang. Bila
kita membicarakan tentang perkebunan teh atau pabrik gula secara tidak langsung
kita akan teringat tentang Belanda, mengingat perkebunan-perkebunan itu dulunya
dirintis oleh pemerintah Belanda. Pada saat itu karena nuansanya adalah nuansa
penjajahan tentu agak sedikit suram bila mengingatnya. Pada saat itu sistem
kasta kentara sekali pada sistem perburuhan, hal itu mungkin dapat terlihat dari
selisih upah yang sangat jauh antara mandor dengan buruh biasa. Well, itu
adalah era jaman penjajahan. Namun bila kita lihat di jaman ini, sampai
sekarangpun sistem perburuhan yang kurang adil itu masih terus berlangsung,
bahkan ketika Belanda sendiri tentu sudah tidak menggunakan sistem ini lagi di
negaranya.
Perlu diketahui, pabrik teh di daerah gucialit ini memiliki tingkat pendapatan yang cukup tinggi. Namun bila kita sedikit mencuri dengar curahan hati para buruh pemetik teh. Sekitar tahun 2008/2009 mama saya bersama dengan rekan-rekan organisasinya kebetulan sedang berkunjung ke daerah tersebut untuk menyalurkan bantuan untuk sekolah-sekolah di daerah tersebut. Ketika beramah tamah dengan penduduk, diketahui bahwa harga jual daun teh pada waktu itu adalah Rp. 1500,- / kg daun teh. Coba bayangkan seberapa banyak pucuk daun teh yang harus dikumpulkan tiap kilonya. Dalam sehari mereka biasanya mengumpulkan 3kg daun teh, berarti Rp. 4500,- per hari.
Bahkan untuk daerah lain yaitu di
Jawa Tengah dan Jawa Barat saya sempat baca upah buruh pemetik teh adalah
Rp.300,-/kg, dan ntuk mendapatkan Rp.10.000,- mereka harus mengumpulkan sekitar
30kg pucuk daun teh. Sungguh mengusik rasa
kemanusiaan kita tentunya, ketika pihak direksi pabrik menikmati hasil
penjualan dalam negeri hingga ekspor yang sangat tinggi, namun pihak buruh
kecil terabaikan nasibnya.
Itu adalah sisi suram dari sistem
perburuhan perkebunan kita. Namun di sisi lain positifnya adalah masyarakat
Indonesia jadi mengenal dan mengetahui bagaimana cara mengelolah perkebunan dan
perindustriannya. Di Lumajang, pabrik teh terletak di Kec. Gucialit dan pabrik
gula ada di Kec. Jatiroto.
Sejarah
Pabrik Teh Kertowono di gucialit ini dirintis oleh Belanda melalui perusahaan NV
Ticderman Van Kerchen (TVK), dengan membuka lahan perkebunan teh pada
tahun 1875 dan disusul dengan pendirian pabrik teh pada tahun 1910. Pada tahun
1810 lahan ini adalah perkebunan kina dan kopi. Kontribusi PTPN XII Kertowono
bagi Lumajang juga cukup besar. Proses produksi diawasi langsung oleh tester
dari Inggris mengingat sebagian besar produk diekspor ke Inggris dan sisanya
dipasarkan di Koperasi PTPN XII Kertowono. Jenis teh yang diproduksi adalah
jenis Black Tea dengan kapasitas produksi mencapai 1000 ton per tahun.
Pabrik Gula Djatiroto
adalah salah satu pabrik gula besar di Indonesia. Belanda merencanakan
pembangunan PG Jatiroto pada tahun 1884 dan dieksekusi mulai 1901, dan tahun
1910 pabrik gula resmi beroperasi dan menjadi bagian unit usahan HVA yang
bermarkas di Amsterdam. Pada masa itu Belanda yang dipimpin Ratu Wilhelmina
pernah berkunjung kemari sebagai ungkapan syukur atas keuntungan sebesar
20%/tahun sehingga membantu perekonomian Belanda. Dari tahun ke tahun rehabilitasi dan inovasi
alat beberapa kali dilakukan demi peningkatan produksi.
Kini PG Djatiroto mampu menggiling tebu
1,1 juta-1,2 juta ton per tahun dan menghasilkan gula lebih dari 80.000 ton. Pasokan
tebu tidak hanya berasal dari lahan sendiri, melainkan juga tebu rakyat. Jumlah
tebu Lumajang melimpah, hingga sebagian di antaranya bahkan dipasok ke beberapa
PG di Kabupaten Probolinggo.
Referensi :
Segera daftarkan diri anda dan bermainlah di Agen Poker, Domino, Ceme dan capsa Susun Nomor Satu di Indonesia AGENPOKER(COM)
ReplyDeleteJadilah jutawan hanya dengan modal 10.000 rupiah sekarang juga !